Jum'at, merupakan hari aku menyambung tuliskanku dengan perasaan yang kacau. Mengapa demikian, dalam bagian ini merupakan keadaan yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa saat kekasihku sendiri sedang mengalami sakit. Tidak pernah terpikir olehku aku sampai pada saat sekarang ini, saat dimana aku hanya bagaikan patung Liberty yang berada di New York sana. Terdiam, membisu dan hampir seperti batu yang tak memiliki pengaruh apapun untuk kekasihku yang sedang sakit.
Malam itu...
Aku masih berkomunikasi dengan Puspa via Media Social
seperti biasa yang kami lakukan jika berkomunikasi di saat malam menjelang
tidur. Aku tak punya firasat apapun, rasa khawatir yang memuncak di dalam
diriku atas pengaduan sakitnya malam itu padaku. Seperti biasa karna pacarku
mengaku perutnya sakit aku bertindak selayaknya dokter yang awam untuk segera memberikan
resep agar minum obat biasa untuk menghilangkan rasa sakit yang ia
derita. Ku kira sakit perut ini sakit perut biasa seperti semua oraang
yang pastinya pernah mengalami hal semacam ini. Namun ekspektasiku salah dalam
hal ini, kekasihku sungguh benar-benar merintih kesakitan atas sakit perutnya.
Malam itu aku hanya bisa berdo’a agar kondisinya esok hari bisa lebih baikkan.
Sebab aku tak ingin dia absen dari pandangan mataku secara tempat kerja kami
sama dan dengan meja kami berdua yang saling berhadap-hadapan. Aku bekerja
sebagai Operator di sekolah swasta sekaligus menjadi guru komputer di sekolah swasta
tersebut dan sama halnya dengan pacarku yang seorang guru di sekolah swasta
tersebut. Akhirnya obrolan malam itu sampai pada waktu untuk istirahat meskipun
aku tahu ia masih merintih kesakitan namun apa daya ia juga harus istirahat dan
harapanku semua akan baik-baik saja pikirku. Satu pesannya yang ku ingat jelas
untuk hari esok bahwa ia tak bisa masuk karna sakitnya dan aku menyetujuinya
agar aku memberikannya waktu istirahat yang cukup untuknya.
Kamis, 24 Maret 2016
Mentari telah naik keperaduannya, bertugas seperti biasa menerangi
bumi ini setelah kabutnya malam berlabuh. Bercahaya membawa semangat baru
dengan hangat mengenggam langkah kaki yang siap mencari sesuap nasi. Ku awali
dengan sarapan pagi seprti biasa yang ku lakukan. Aku sudah tahu jika hari ini
Puspa tak bisa datang dan lagi-lagi tak ada firasat burukku untuknya. Aku lalui
hari ini tanpa beban dan bekerja seperti biasa.
Tepat pukul 8.30 pagi,
Seorang teman guru lain (Benni) bertanya padaku, “Adi, Kak
Puspa Masuk Rumah Sakit Ya?”, dengan nada penasaran. Aku sontak menjawab, ”Hah,
iyanya kak, aku tahunya kemarin malam bener dia masih sakit tapi kalau masuk
rumah sakit baru ini aku dapat kabarnya dari kakak”. Aku menimpal pertanyaannya
dan ia membalas, ”Di status BBMnya gitu”. Aku hanya bisa diam dan tak bisa
menimpal apa-apa lagi dari ucapannya. Tak lama waktu berselang pesan singkat
dari kekasihku pun menyinggahiku yang sedang kebingungan dengan pertanyaan yang
membenarkan keadaan itu terjadi. Aku semakin tak tahu berbuat apa-apa sesaat
kabar itu. Aku mengira hari ini tak terjadi apa-apa nyatanya tak semuanya yang
kita harapkan di dunia ini berjalan mulus seperti yang kita harapkan dan
mungkin inilah ujian.
Cerita soal sakit, bagi sebahagian orang mungkin kisahku
dan kekasihku adalah cerita klasik yang sudah umum dan mungkin tidak begitu klimaks
di bandingkan kisah novel-novel terbaik yang beredar di luar sana. Disisi lain,
bagiku sakit apapun itu merupakan hal serius yang tak bisa aku hilangkan dari
pikiranku apalagi yang mengalami sakit itu adalah perempuan dan perempuan itu kekasihku
atau bahkan ibuku sendiri. Dahulu ibuku juga pernah mengalami sakit munmen atau
maag akut atau apalah istilah kedokterannya sama seperti yang di alami oleh
pacaraku saat ini. Laki-laki yang kuat sekalipun yang bahkan di bilang otot kawat
tulang besi tak kan mampu melihat ibu menderita sakit atau dengan kata lain
sebandit-banditnya anak lelakinya juga takkan mampu melihat ibunya menderita
sakit. Aku bisa menjadi patung Malin Kundang ketika ibuku atau pacarku orang
yang kusayangi jatuh sakit sebab apa, karna aku tak mampu berbuat apa-apa aku
tak sanggup melihat rintahan kesakitan itu, mereka perempuan kenapa harus
merasakan sakit kalau tuhan ingin memberinya sakit apa tidak bisa ke aku
anaknya atau ke aku pacarnya paling tidak aku laki-laki yang sanggup menerima
beban sakit itu tapi jangan untuk mereka orang-orang yang kusayangi,
kucintai..ibuku..kekasihku atau keluargaku. Aku tak takut panasnya api
dinginnya kutub utara tak selalu dalam sujudku, do’aku jangan pernah sakiti
keluargaku dan orang yang ku sayangi. Aku orang yang introvert dan sanggup
memendam apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri dan menyimpan baik semua
memori yang mataku lihat segala kejadiannya. Semua pikiranku, jiwaku,
perasaanku tertuju untuk semua rasa sakit yang di alami kekasihku sama halnya
ketika ibuku sakit. Bagiku mereka penyemangatku, tempatku berbagi kebahagian,
temapat aku mencurahkan segalanya dan merupaka orang-orang yang berharga dalam
hidupku. Tak akan mungkin aku bisa berreinkarnasi untuk menemukan orang-orang
yang terpilih seperti mereka lagi.
Maret, menjadi penutup semua lembar cerita ini dengan
keadaan yang cukup mengujiku. Kesabaranku diuji kembali dengan orang-orang yang
kusayang sebagai pelaku utamanya. Tak
bisakan kebahagiaan itu selalu ada dan di buat tanpa adanya kata sakit atau
rasa sakit?. Aku manusia biasa, lelaki perasa yang anti dengan kata sakit dan
merasa kesakitan. Tak ada yang ingin ku katakana lagi dan berharap April akan
menjadi lebih indah dan lebih baik.
“Ya..Rabb..Limpahkan Rahmat, Hidayah, Karunia, Rizki-Mu untuk ku dan keluargaku serta untuk kekasihku dan Keluarganya. Lindungi sehatnya kami sebelum sakit kami tiba. Jauhkan Segala yang buruk untuk kami Ya..Rabb..Istajib du’a ana Ya..Rahman”